Summary
“Gender Issues in Community Water Supply”
By; Doso Winarno
Gender issues are important thing
because of the role of women in managing the water supply actually could
support the life and education to the next generation. The maker of traditional
herb could be found in a lot of either urban quarter or village as group. The
gender issue of this herb seller is attracting to be reviewed because the
supplying of clean water effect not only to the healthiness of its people, but
to the healthiness of the buyers.
The
proverty is cause diffulties to the women role as herb seller in taking their
task as next generation. The most men that work as reconstruction worker and
farmer had minimum income, seasonally or evenly. They have no capability to
support the life and education of their children. Poverty had caused 97 mothers
pace to make and sell herb in order to get their family to had meals and education
to their next generation. The activity of some mother in blending herb had been
started since early morning to the evening until it already to be sold around
by carrying it or clean water had been polluted by the dwelling waste and feces
of livestock. The management of clean water had been started by “Management
Model of Sustainable Poverty in Canden, Bantul”. The aim of this model is to
cope with the pollution of water under the land by the waste from toilet, domestic
waste and feces of livestock. This approach done by considering about the important
of healthiness, collective “stabling”, building of absorbing well, composting
toilet, and categorizing the wastes into organic waste.
The
management of water by the people had key in the role of women that sell herb
in building and managing the sanitize had could done fully by their self,
whereas this group capable also to supply the water with the lower cost. The
group that manages of waste water from the maker of herb in Kiringan Village ,
Jetis, Bantul had executed the building of pro-gender. Women group that sell
herb had asked their husband in this plant and construction, the operating of water
system and also the drainage. In executing of cope with poverty, the society
didn’t get any advices about other important factors related with the sustainability.
Keyword: Water Supply; Gender;
Proverty; Sustainability.
“Isu Gender Dalam Pengelolaan Air Secara Berkelompok”
Isu gender makin menguat seiring dengan pentingnya peran
perempuan dalam mengemban generasi penerus. Menguatnya isu gender dalam
mengelola air diangkat menjadi makin menarik bila peran perempuan dapat mengolah
air dengan ramuan alami menjadi Jamu Tradisional Jawa yang dipercaya berkhasiat
sebagai penambah kekuatan, pencegah bau badan, dapat mengobati sakit batuk juga
dapat menghilangkan rasa kecapaian atau pegal-linu. Gigihnya kelompok
perempuan penjual jamu ini dapat nyata menopang kehidupan dan pendidikan bagi
generasi penerus. Ini
wajar, karena hari depan remaja ada di tangan perempuan penjaja jamu tersebut. Ibu-ibu
penjual jamu-lah yang mengandung dan melahirkan anak-anaknya-pun akan terganggu,
bila kondisi kualitas air tidak sehat. Terkadang, dapat lahir bayi dengan
berat badan di bawah normal akibat mengkonsumsi air yang tidak sehat. Balita
yang mengikuti ibunya memasak jamu di dapur tidak luput pula dari asap tungku kayu.
Pengrajin jamu tradisional dapat dijumpai di perkampungan
kota maupun di perdesaan secara berkelompok. Isu gender penjual jamu ini menarik
disimak karena pengadaan air bersihnya tidak hanya berpengaruh terhadap
kesehatan warganya, tetapi juga terhadap kesehatan pembelinya. Kemiskinan telah
mempersulit peran perempuan penjual jamu dalam mengemban penerus generasi. Kemiskinan
sangat erat berkaitan dengan langkanya lapangan pekerjaan sehingga perlu juga
banyaknya lapangan pekerjaan yang tercipta dalam program dan kegiatan pengelolaan
air bersih.
Kaum lelakinya
sebagian besar berkerja sebagai buruh bangunan dan bertani berpenghasilan minim,
musiman tidak menentu, tak kuasa menopang penghidupan dan pendidikan anak. Kemiskinan penyebab 97
ibu-ibu berkiprah membuat dan menjual jamu demi asap dapur dan pendidikan
generasi penerus di Pedukuhan Kiringan, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten
Bantul yang berpenduduk 828 jiwa. Aktifitas ibu-ibu meracik jamu diawali sejak dini
hari sampai siap saji. Kegiatan dilanjutkan menjajakan jamu dengan “digendong” maupun naik sepeda “ontel” berkeliling kampung hingga sore
hari.
Kaum lelaki yang pekerjaannya musiman, terlena kurang perhatian terhadap kebersihan lingkungan
perumahan. Tak
terasa, lama kelamaan sumber air tercemar limbah rumah tangga dan kotoran
ternak.
Tatkala
peristiwa para bayi penjual jamu dan pelanggannya lahir, ia disusui oleh ibunya
dengan kebiasaan meminum jamu sejenis “uyub-uyub”
atau “wejah” yang berkhasiat nyata
untuk kesehatan serta melancarkan air susu ibu.
Pengalaman telah menunjukkan
bahwa air susu ibu yang mengandung hijauan dan sejenis kunyit dapat menyehatkan
dan mencegah infeksi. Ibu pula-lah yang mendidik anak balita sampai beranjak
dewasa. Untuk itu, kualitas air yang diolah haruslah terjaga dan menyehatkan.
Khusus dalam kaitannya dengan perempuan ukuran
kuantitatif dapat digunakan Indeks Pembangunan Gender (IPG) (Gender-related Development Index) dan
Ukuran Pemberdayaan Gender (UPG) (Gender
Empowerment Measure) yang dikembangkan oleh UNDP. Isu pengolahan air oleh Gender
pejual jamu tradisional Jawa, IPG-nya apakah telah menunjukkan seberapa jauh
kebutuhan yang paling mendasar telah terpenuhi, yaitu harapan hidup, tingkat
pendidikan dan penghasilan dengan memperhatikan diskriminasi jenis kelamin?.
Masalah perempuan pengelola air menjadi jamu berkaitan
erat dengan kemiskinan dan lingkungan hidup biofisik, untuk itu digunakan juga Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) (Human Development Index) dan
Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) (Human
Poverty Index) serta Indeks Lingkungan Hidup (ILH). IPM serupa IPG tanpa
memperhatikan diskriminasi gender. IKM
adalah ukuran derajat kemiskinan dalam empat dimensi kebutuhan dasar manusia,
yaitu hidup panjang yang sehat, pengetahuan, kebutuhan ekonomi dan keterlibatan
sosial.
Kaum
perempuan mempunyai kedudukan penentu bagi generasi yang akan datang. Namun
peranan perempuan yang sangat penting itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik,
akibat pencemaran air oleh limbah seperti kotoran sapi dan buangan limbah
domestik serta sampah lainnya. Keinginan warga dalam meningkatkan kualitas lingkungan
perumahan dan mutu jamu telah memperhitungkan kaum perempuan dalam perbaikan
mutu air selain untuk kebutuhan sehari-hari juga sebagai bahan baku jamu.
|
Sumber
utama pencemaran air berasal dari buangan limbah domestik, kotoran ternak.
Permasalahan utama Pedukuhan Kiringan yang berpenduduk 213 KK 828 jiwa terdiri
dari 5 RT. Kondisi demografi RT I dihuni
34 KK yang punya WC 4 KK atau 10%, selanjutnya 40% (RT II), 35% (RT III), 15%
(RT IV), 19% (RT V). Berarti perilaku warga masih banyak buang hajat di selokan,
di sungai atau di kebun. Telah diupayakan pengelompokan kandang memakai tanah
kas desa hanya mampu menampung 17 kandang, selebihnya kandang masih berdekatan
dengan rumah penduduk dan kotorannya meresap tanah mencemari sumber sumur tanah
dangkal.
Masyarakat telah mengembangkan arisan pembuatan WC secara
sukarela Rp.1000/KK/Bulan. Arisan dan gotong-royong pengadaan WC bersifat
lentur dan dapat diperbaiki berdasar pengalaman membuang limbah domestik serta
berko-evolusi dengan lingkungan hidup yang mengalami perubahan dengan dinamis. Unsur
kearifan lokal yang masih relevan dan sesuai dengan kondisi mutakhir diadopsi,
sedangkan yang telah disfungsional karena tidak sesuai lagi dengan perubahan
lingkungan hidup biogeofisik dan sosial-budaya-ekonomi seperti buang limbah
sembarangan dan buang hajat di sungai segera dikurangi dan dijauhi. Tawaran
teknologi toilet kompos kini menjadi pertimbangan untuk pembuangan tinja bagi
keluarga, mengingat masih banyak rumah belum memiliki WC.
Banyaknya
pemanfaatan air tanah dangkal ini menurut masyarakat disebabkan oleh 3 faktor
yaitu: kualitasnya dianggap cukup baik, jumlahnya (produktivitas) cukup dan
lebih ekonomis. Dari segi kejernihan kualitasnya umumnya memang baik, namun
harus diperhatikan bahwa data kualitas air tanah dangkal tidak mendukung
pendapat masyarakat yang masih beranggapan air sumurnya masih sehat. Berdasar
pengamatan penulis, terdapat air sumur yang telah mulai berubah warna dan mulai
berbau tidak segar.
Artinya, masih banyak penduduk yang belum bisa mengakses
sumber air bersih yang benar-benar terjamin kualitasnya. Apabila dilakukan
pengukuran pencemaran air tanah dangkal secara benar apakah masih menunjukkan,
parameter NO3, NH4 dan koli tinja kondisinya masih baik atau buruk?. Mengingat
pencemaran yang terjadi, air telah terkontaminasi. Perlu dibuktikan, bagaimana
air tanah dangkal dapat dinyatakan tidak memenuhi atau masih memenuhi syarat
air baku untuk air minum menurut PP No. 20 Tahun 1990?. Secara periodik dapat
dilakukan pendataan untuk melihat telah
terjadi penurunan kualitas air tanah dangkal selama periode 4 tahun. Untuk
NO3, NH4 dan koli tinja telah terjadi kenaikan atau penurunan. Jumlah rata-rata
pemanfaatan air bersih bagi penduduk di daerah ini adalah 30 liter/orang/hari. Kondisi kualitas air tanah apabila
telah tercemar E-coli juga
berpengaruh terhadap kualitas air yang diolah menjadi jamu.
LANGKAH
UTAMA YANG PENTING
Perlakuan
pemanfaatan sumber daya air yang dapat dilakukan warga dengan mudah dengan
penghematan dan konservasi, minimalisasi pengotoran dan pencemaran, serta maksimalisasi
daur ulang dan pemanfaatan kembali. Dilakukan peningkatan pendapatan dan program lainnya untuk mendukung
pendekatan yang terintegrasi terhadap pengurangan tingkat kemiskinan dan
pemberdayaan kaum perempuan.
Untuk
mendapatkan sumber air bersih yang berkualitas diperlukan usaha terpadu
berbagai sektor kegiatan, seperti prasarana dan sarana drainase, pengelolaan
sampah dan pengelolaan limbah domestik. Dilakukan pendekatan penyediaan air dan sanitasi yang
partisipatif dan yang responsive gender. Pentingnya
peran ibu-ibu selaku produsen sekaligus pemasar
jamu tradisional dalam menopang kehidupan serta pendidikan anak, memerlukan
terjaganya persedian air bersih berkualitas sehat dan alami. Diperlukan partisipasi
perempuan dalam perencanaan dan implementasi terhadap penyediaan air dan
sanitasi. Bantuan pihak
luar diperlukan untuk mendorong dan memancing terwujudnya swadaya masyarakat
untuk kegiatan pengelolaan air yang mandiri dan berkelanjutan
Pembuatan
toilet kompos ini baru dimulai di Canden pada bulan Maret 2006, sebagai inovasi
teknologi dan kerja bersama berbagai pelaku pembangunan. Pilihan sistem toilet
kompos yang telah diuji coba dan diminati warga, kini menjadi program utama, selain mengatasi
pencemaran air juga berefek ganda terhadap peningkatan kualitas lingkungan perumahan.
Pengadaan toilet kompos dengan bahan lokal, sederhana dan murah dapat
dikerjakan warga secara bergotong-royong. Bahan lokal seperti, wc jongkok atau wc
duduk, pipa tanah (plempem)
dapat menjadi industri lokal toilet
kompos dari tanah liat atau keramik yang embrionya telah ada di Canden, Bantul.
Keuntungan penggunaan Sistem
Toilet Kompos (Composting Toilet):
1) murah dengan bahan lokal,
2)
memenuhi syarat kesehatan dan tidak berbau serta tidak menarik lalat,
3)
mudah digunakan sebagai toilet jongkok ataupun duduk,
4)
tinja dan air seni dipisahkan dan keduanya dapat
digunakan sebagai pupuk,
5)
mengembangkan sistem pengelolaan greywater sehingga dapat
diguna-ulang,
6)
dapat membangkitkan industri toilet kompos dengan bahan
lokal,
7)
membangun sebuah sistem energi terperbarukan untuk
mendukung industri tersebut.
Dorongan
motivasi inovasi teknologi toilet kompos telah dicoba di Canden wujud kerja
bersama warga dengan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Menurut Arntein Sherry (1969) bahwa, puncak dari segala partisipasi warga dan
lingkungan sosialnya disebut sebagai kontrol masyarakat. Pada tingkat kewenangan
ini, warga dan lingkungan sosialnya sudah memiliki derajad kewenangan tertentu
yang mampu menjamin mengendalikan institusi dan progam saling pembelajaran
dalam menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya-saing tinggi. Kewenangan warga-lah yang menjamin pengendalian institusi dan progam
bersama penanggulangan kemiskinan berkelanjutan di Canden. Warga lebih
mengutamakan sistem air minum dan sanitasi yang disenangi masyarakat. Pemecahan
masalah pencemaran air dirancang secara lokal dan padat karya untuk menciptakan
lapangan kerja. Permukiman kembali ternak (Cattle
Rehabilitations in Dusun Kiringan) secara berkelompok telah dibuat dengan
tanah kas desa, namun hanya mampu menampung 17 kandang saja. Masih banyak kandang ternak menjadi satu
dengan rumah tinggal. Permukiman
kembali ternak secara berkelompok memiliki kesempatan lebih besar untuk menjaga
kualitas air serta pengelolaan pupuk kandang dengan alat press yang dapat
memberikan keuntungan jangka panjang. Tetumbuhan obat bahan baku jamu dapat
disuburkan dengan pupuk kandang yang telah diolah, meskipun sebenarnya pupuk
tinja
dari
toilet juga dapat dipergunakan. Selama ini bahan baku tetumbuhan masih
didatangkan dari luar daerah, padahal jenis tanaman obat dapat dibudidaya
sendiri di pekarangan. Bahan baku jamu atau ”empon-empon” tersebut terdiri dari kunyit (kunir), kencur, jahe, temu ireng, temu lawak, kunyit putih, puyang,
daun pepaya. Hasil produk jamunya
berupa: beras kencur, galian
singset, cabe puyang, uyub-uyub, kencur sunti, parem tahun, dan kunir asem.
Kelompok
perempuan penjual jamu secara turun temurun di Kiringan awalnya mencapai 114
orang. Perkembangan terakhir menunjukkan penjual jamu berjumlah 97 orang, yang tua
meninggal dunia serta sebagian alih profesi. Ada 4 paguyuban jamu dengan
kegiatan arisan dan simpan-pinjam, diantara yang aktif Paguyuban Jamu ”Sari
Murni” digalang sosok perempuan Dukuh Kiringan yaitu oleh Nyonya Sambudi di
rumahnya, diadakan setiap bulan tanggal 12 malam dengan besaran uang arisan
2.000 Rupiah setiap anggota. Anggota paguyuban dapat meminjam uang 100 hingga 300
Ribu Rupiah. Keuntungan
kotor setiap hari dari hasil membuat dan menjual jamu mencapai 40 Ribu Rupiah
dikurangi biaya bahan baku ramuan jamu 15 Ribu Rupiah, sehingga rata-rata per-hari
dapat menangguk keuntungan bersih 20 hingga 30 Ribu Rupiah. Aktivitas perempuan
dalam pemakaian air untuk keperluan rumah tangga dan bahan baku jamu merupakan penyebab kelompok
perempuan mendominasi penggunaan air. Meningkatnya kuantitas persediaan
air oleh perempuan, kurang diimbangi peran suami dalam menyediakan sarana
pembuangan limbah atau sarana sanitasi yang dapat menurunkan tingkat kesehatan?.
|
Pengelolaan sumber air oleh masyarakat, diperlukan untuk menjamin
pasokan air bersih. Pengelolaan
air untuk keperluan rumah tangga dan bahan baku jamu diintegrasikan dengan
layanan lingkungan perumahan yang lainnya. Terutama, dalam kaitan eratnya
dengan sanitasi, dua hal ini dikembangkan secara paralel. Pemilahan sampah juga
telah mulai dilakukan bertujuan menjaga kualitas air, meningkatkan kerjasama antar warga, membiasakan
mengelola sampah sejak dari rumah, menjadikan pengelolaan sampah lebih
terorganisir, meningkatkan produksi pupuk organik dan keramik, di samping lingkungan
lebih bersih, sehat dan hijau. Selain sebagai pengguna air, warga juga diaktifkan dan difungsikan
sebagai pengelola air bersih, dengan membentuk kelompok swadaya masyarakat di
bidang air bersih, sehingga sangat memungkinkan untuk mengelola prasarana dan
sarana air bersih dengan wilayah pelayanan terbatas atau di lingkungan
sekitarnya. Pengelolaan air bersih yang dilakukan oleh komunitas ini diharapkan
dapat menjamin keberlanjutan penyediaan air bersih di lingkungannya baik dari
aspek teknis maupun non teknis.
Pengelolaan
air oleh warga ini kuncinya pada peranan perempuan penjual jamu dalam membangun
dan mengatur sistem sanitasi yang bisa sepenuhnya mandiri, sementara kelompok
ini juga akan mampu menyediakan air dengan biaya lebih rendah. Pengelolaan air dirancang secara lokal dan padat karya, agar
tercipta lapangan pekerjaan. Potensi derasnya air terjun dari dam Sungai Boyong yang
berjarak 200 meter selain telah dimanfaatkan untuk wisata mancing dan
mendayung, juga diinginkan menjadi pembangkitan listrik dari mikro-hidro. Manfaatnya
untuk penyediaan air bersih dengan memompa air tanah serta penyediaan listrik, juga dapat
menggantikan fungsi BBM pada mesin diesel penggiling bahan mentah jamu. Penyediaan
air bersih dan listrik akan meningkatkan kualitas manusia dan mengurangi beban
tenaga perempuan dalam memproduksi jamu yang berekses pada naiknya tingkat
kesehatan dan pendidikan anak. Eko-wisata lebih dikembangkan didasarkan atas
peran serta masyarakat, dapat peluang pasar. Eko wisata yang telah berkembang selain
wisata jamu tradisional juga pemancingan,
perahu dayung diikuti tumbuhnya kerajinan enceng gondok dan gerabah. Pariwisata
yang dikembangkan dengan dasar pro-rakyat miskin dapat memberi sumbangan yang
berarti pada usaha penanggulangan kemiskinan (Cezayerli, 2003).
Pemecahan masalah air semacam ini memiliki kesempatan
lebih besar untuk bisa terus beroperasi dan dengan demikian memberi-
kan keuntungan
jangka panjang. Sementara pemecahan
berteknologi tinggi ini dapat juga macet apabila setelah terjadi kerusakan
ringan pertama tak bisa diperbaiki dengan "biaya
masa siklus" (life-cycle cost) yang meliputi semua biaya untuk
menjaga investasi agar tetap terawat dan beroperasi dengan efisien. Sebagian
besar pemasukan yang diperoleh dari pengelolaan air dan sanitasi akan menjadi
dana berputar, dipakai biaya masa siklus dan membantu mengembangkan sistem
semacam pada kelompok masyarakat lainnya. Selebihya dipakai membantu kegiatan
pengembangan lainnya seperti sanitasi, kandang kelompok atau jalan lingkungan.
Peran gender dalam pengelolaan air telah diawali dengan merubah
perilaku dalam pembuangan limbah, maka Dusun Kiringan, Canden, Bantul telah
mempelopori Indeks Pembangunan Gender (IPG). Kelompok pengelola air pengrajin jamu di Kiringan telah melakukan pembangunan
pro-Gender. Keterlibatan
kelompok ini telah mengajak para suami dalam perencanaan dan konstruksi serta
pengoperasian sistem air serta buangan. Dalam melaksanakan
penanggulangan kemiskinan, warga juga tidak banyak menerima usulan kegiatan yang
hanya berdasarkan rendahnya biaya modal awal, tanpa mempertimbangkan faktor
penting lainnya yang berhubungan dengan keberlanjutan (sustainability).
Feature
ini ditulis mengacu payung pembangunan berkelanjutan dari buku To achieve sustainable tourism development
(Soemarwoto, 2003) the Agenda 21 STD DIY is designed to rest on
the four of sustainable development as summarized by Swaminathan (2002). These
are: pro-environment, pro-poor, pro-women, pro-livehood opportunities
(job-led).
Reference:
Arntein Sherry. 1969. A Ladder of Citizen Participation. American Institute of Planners Jurnal.
Cejayerli,G. 2003. Tourism More Than Sight-seeing. ADB Review, July-August 2003.
Soemarwoto Otto, Towards Jogja The Eco-Province The Regional Agenda 21 The Sustainable
Tourism Development of the Special Province of Yogyakarta, Published by: Provincial of Yogyakarta
Special Region in Collaboration with United Nations Development Programme
(UNDP), 2003.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar